Selamatkan Air, Selamatkan Masa Depan

Tema peringatan Hari Air Sedunia (World Water Day) tahun 2017 cukup menarik dan menggugah hati. “Wastewater” atau “Air Limbah” menjadi tema pilihan hari besar yang dicetuskan pertama kali pada tahun 1992 oleh United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) ini.

Diperingati pada tanggal 22 Maret tiap tahunnya, Hari Air Sedunia sejatinya bukan hanya ajang kegelian seremonial semata. Sebab, tiap tema dan even itu ada, di situ ada upaya, tenaga, pikiran bahkan materi yang dikorbankan.

Seberapa besar nilai dari sebuah peringatan, lebih berarti jika nilai tersebut masuk ke dalam tiga instrumen terpenting dalam nilai rasa (afektif), nilai pikir (kognitif) dan nilai bertindak (psimomotorik) manusia.

Pada tahun sebelumnya, atau peringatan Hari Air Sedunia tahun 2016, even ini mengangkat tema “Water and Jobs” atau “Air dan Pekerjaan”. Masuk satu tahun lagi sebelumnya, perayaan Hari Air Sedunia tahun 2015 mengangkat tema “Water and Sustainable Development” atau “Air dan Pembangunan Berkelanjutan”.

Lantas, pesan apa yang bisa diambil dari Perayaan Hari Air Sedunia tahun 2017 bertemakan “Wastewater” atau “Air Limbah”?

Setidaknya, even ini mampu mengangkat tingkat kesadaran manusia supaya lebih menghargai betapa air memiliki nilai tambah yang luhur bagi kelangsungan hidup manusia.

Jika direnungkan, Bumi, tempat manusia tinggal saat ini, 70 persen struktur pembentuk di antaranya adalah air. Tapi dari 70 persen volume air di muka Bumi, 97,5 persen didominasi oleh air asin.

Hanya 2,5 persen atau sisanya merupakan air tawar yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Bahkan kebanyakan struktur air tawar di bumi ini kebanyakan masih berbentuk lapisan es beku. Tersebar di kutub dan pegunungan tinggi, yang pastinya susah untuk diminum.

Mengolah air laut untuk bisa diminum tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh modal yang besar dan peralatan yang super canggih. Akibatnya, manusia lebih cenderung mengeksploitasi cadangan air tawar yang tersimpan dalam tanah, sumur resapan, dan mata air pegunungan.

Baca Juga  All Community Purwakarta Siap Deklarasi 10-11 November 2018

Lebih parahnya, akibat ulah eksploitasi air yang tak terkontrol, cadangan air tanah di Bumi semakin berkurang. Entah akan seperti apa jadinya, jika air tawar di Bumi ini berkurang drastis bahkan habis. Harga air, mungkin bisa melebihi harga bahan bakar minyak non subsidi.

Tema besar Air Limbah dalam peringatan Hari Air Sedunia tahun ini, sejatinya bisa mengetuk hati manusia untuk segera bertaubat. Tidak berperilaku jangka pendek dalam memakai air untuk kehidupan sehari-hari. Sebab, bukan manusia di masa kini saja yang butuh akan keberadaan air. Melainkan anak cucu manusia yang akan hidup di masa mendatang.

Pada tanggal 21 April 2015, penulis sempat mewawancarai pihak PT Pembangkitan Jawa Bali Badan Pengelola Waduk Cirata (PT PJB BPWC). Topik wawancara kala itu, seputar pencemaran Sungai Citarum yang disebabkan oleh limbah industri dan domestik rumah tangga. Hal tersebut berdampak pada kualitas air di Waduk Cirata.

Hasil penelusuran tim ekspedisi, kondisi air di Waduk Cirata sudah masuk kelas IV. Dalam artian sudah tidak layak untuk dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari.

Apalagi sejauh ini, pembuangan air dari Waduk Cirata merupakan limpahan dari Waduk Saguling. Dari Cirata, ditampung kembali oleh Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur. Yang mana kondisi air di Jatiluhur dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih warga Jakarta.

Lebih dari lima juta penduduk di hulu Citarum semuanya membuang limbah domestik rumah tangga ke aliran Sungai Citarum. Hal tersebut belum dihitung dengan volume limbah puluhan perusahaan yang terletak tak jauh dari bahu aliran sungai.

Sebagaimana diketahui, hulu Sungai Citarum berada di Bandung Selatan, Cisanti, Daerah Rancaekek, Dayeuh Kolot, Soreang, Batujajar, Cimahi dan Saguling.

Bukti tambahan lain air di Waduk Cirata sudah tercemari, waduk tersebut ditumbuhu eceng gondok yang luasnya kini mencapai empat kali ukuran lapangan sepak bola internasional. Lebih parahnya, pertumbuhan eceng gondok cukup cepat. Tiga persen pertumbuhan per hari.

Baca Juga  Berikut Kelebihan Xiaomi Mi Note 10 Pro

Beberapa upaya kini dilakukan oleh pihak Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta (PJT) II Jatiluhur, sebagai ototitas pengelola Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur. Salah satunya dengan melakukan penertiban bagi lebih kurang 27.000 keramba jaring apung (KJA).

Bahkan, untuk menatakelola air supaya lebih bernilai jangka panjang, PJT II Jatiluhur bersama Pemkab Purwakarta bakal menzerokan KJA di tahun 2018 mendatang. Persoalannya bukan bicara lagi masalah bisnis to bisnis, melainkan nilai sosial yang bisa dikata, air Jatiluhur merupakan pasokan utama mayoritas konsumsi warga DKI Jakarta.

Sebab, saat ini tidak sedikit masyarakat yang masih bebas mengambil air dari tanah. Bahkan kebiasaan ini membudaya di wilayah bisnis perumahan, hotel dan pabrik perusahaan. Tanah di DKI Jakarta itu menurun beberapa centimeter tiap tahunnya, dikarenakan pengambilan air tanah yang tiada hentinya. Hal ini mungkin saja terjadi di Purwakarta. 

Purwakarta boleh dikata sudah sadar diri, melancarkan langkah kebijakan yang ramah terhadap air. Terbukti, dari banyak program Pemkab Purwakarta mengambil falsafah air. Tertuang dalam nilai falsafah pembangunan berbasis air, udara, tanah dan matahari. Konsepsi ini acap didengungkan oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dalam tiap kesempatan berpidato dan wawancara dengan media.

Bagi segelintir orang memang ini terlihat konyol. Namun, jika dicermati lebih mendalam, falsafah pembangunan seperti ini ada baiknya juga. Bahkan menghasilkan banyak keuntungan.

Contohnya. Bagi mayoritas warga Purwakarta mungkin tidak perlu bepergian ke luar kota apalagi luar negeri hanya untuk melihat indahnya atraksi air mancur. Purwakarta punya Taman Air Mancur Sri Baduga. Yang dahulu menjadi pusat (maaf) prostitusi gocapan, kini disulap, menjadi wisata air ramah anak, kaum difabel dan ibu hamil.

Purwakarta juga memiliki tempat air minum siap saji. Yang rencanya program ini bakal tersebar di titik-titik sibuk perkotaan. Lalu di tahun 2018, warga Purwakarta tidak lagi mengambil air dari tanah. Karena Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat sudah membuka jaringan hampir di tiap kecamatan dengan modal ratusan miliar.

Baca Juga  Geulis - Kasep, Kota Bandung Punya Ako dan Amoi Hakka 2016

Keberadaan air tidak bisa lepas dari kebutuhan dan hajat manusia. Air mendominasi struktur tubuh manusia. Hampir 90 persen unsur jasmani dan ragawi manusia, ditopang oleh energi-energi air. Tanpa air manusia tidak akan hidup, artinya, tidak ada air tidak ada kehidupan.

Jika boleh memberi saran, pemerintah sejatinya memberlakukan aturan yang tegas bagaimana swastanisasi air betul-betul bisa ditekan seminimal mungkin. Air harus dikuasai dan dilindungi negara. Sebab negara dan pemerintahlah yang memiliki power untuk melakukan pembangunan air berbasis masa depan.

Tema besar Air Limbah peringatan Hari Air Sedunia 2017 sudah cukup menyat hati. Saat ini jarang ditemukan aliran sungai yang kondisi airnya baik, khususnya di perkotaan. Permukiman padat, industrialisasi yang tak terkotrol, berdampak pada rantai kehidupan air.

Tidak sedikit perusahaan nakal yang berani membuang limbah kimia ke sungai, tanpa melalui tahapan instalasi pengelolaan air limbah.

Kasus PT Indho Barat Rayon (IBR) pada pertengahan tahun 2016 lalu, sejatinya bisa jadi pelajaran. Dugaan pencemaran limbah kategori berbahaya B3 di Rawa Kalimati dibawa ke meja hijau pengadilan. Meski majelis hakim menyatakan IBR tak bersalah, proses hukum ada, karena terdapat kasus yang perlu diselesaikan.

Jika semua benda akif dan pasif di muka Bumi ini masuk kategori ciptaan Tuhan, maka air adalah ciptaan Tuhan. Yang juga memiliki hak untuk tetap ada, dan tetap lestari. Kendati air mengayun mewahyu bumi, jasanya tak terhitung untuk dibalas.

Air limbah, adalah sumbangan penyakit untuk generasi kehidupan manusia yang akan datang. Semoga, sejak dicetuskan dalam Konferensi Bumi oleh PBB di Rio de Janeiro pada Sidang Umum PBB ke-47 tanggal 22 Desember 1992 melalui Resolusi Nomor 147/1993, Hari Air Dunia yang diperingati setiap tanggal 22 Maret sejak tahun 1993 menjadi ajang manusia merefleksi diri.

Penulis adalah Dicky Zulkifly, Jurnalis Headline Jabar