Konsep Islam Nusantara Harus Disikapi dengan Arif dan Bijak
Yusef Solihudien
PURWAKARTA, HeadlineJabar.com
Belakangan ini cukup ramai diperbincangkan tentang “Islam Nusantara”. Banyak intelektual, ulama, politisi, dan pejabat yang menggunakan istilah ini ketika membicarakan Islam. Pemicu awalnya adalah penggunaan langgam Jawa dalam tilawah Alquran pada saat Peringatan Isra dan Miraj di Istana Negara, beberapa waktu lalu.
Hal ini juga menyeruak pada saat Nahdlatul Ulama (NU) mengambil tema Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia dalam Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, belum lama ini.
Saat itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, Islam Nusantara adalah wujud Islam yang santun, ramah, beradab, dan berbudaya. “Jadi ini bukan mahdzab atau aliran tertentu, tapi khosois atau tipologi. Ciri khas Islam Nusantara adalah Islam yang melebur dengan budaya,” kata dia pada saat itu.
Said mengatakan, Islam Nusantara adalah Islam yang tidak memusuhi ataupun memberangus budaya yang ada. Justru budaya setempat diakomodir dan dilestarikan selama tidak bertentangan dengan aturan atau syariat Islam.
Konsep Islam Nusantara ini juga mendapatkan banyak tanggapan dan reaksi dari kalangan tokoh dan masyarakat, terlebih para ulama yang selalu mendakwahkan islam. Di antaranya adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Sihab.
Dengan tegas beliau menyatakan bahwa Islam Nusantara merupakan paham yang sesat dan menyesatkan, serta bukan dari ajaran Islam, sehingga wajib ditolak dan dilawan serta diluruskan. Bahkan Habib membuat singkatan JIN untuk menyebut Jemaah Islam Nusantara.
Menanggapi hal tersebut, headlinejabar.com mewawancarai seorang ustadz muda yang juga Tokoh Islam Purwakarta DR Yosef Solehuddin M.A untuk menjelaskan terkait Konsep Islam Nusantara.
“Islam Nusantara harus disikapi sebagai khazanah dialektika pemikiran Islam dan kita apresiasi itu. Namun Islam itu konteksnya tidak hanya Nusantara, karena itu saya lebih senang menggunakan sebutan Islam sebagai rahmatan lil alamin,” ujarnya.
Yusef yang juga Pimpinan Yayasan Al-Manar Purwakarta menyebutkan Islam itu bersifat universal dan keselamatan bagi sekalian alam. “Adapun perkawinan dengan kearifan lokal adalah sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan aturan atau syariat Islam,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan, kebudayaan sendiri terbagi menjadi dua macam yakni material simbolik dan substansi. “Material simbolik seperti kujang, iket, dan lainnya. Sementara substansi seperti nilai kejujuran, kesopanan, dan lainnya. Jadi sah-sah saja bila ada perkawinan dengan kearifan lokal,” katanya.
Namun dirinya pun kembali menegaskan, sikap terbaik dalam menyikapi Islam Nusantara adalah dengan arif, bijaksana dan hati-hati. “Jadi harus dijelaskan dulu konsep dasarnya seperti apa? Tapi kembali lagi saya lebih pas menggunakan Islam rahmatan lil alamin,” ucapnya.(drs)