Saatnya Melakukan Penguatan Dosis Nilai-nilai Kebangsaan
Foto : Pegiat Empat Pilar Kebangsaan di Kabupaten Purwakarta Didi Mulyadi.
PURWAKARTA, headlinejabar.com
Pada zaman orde baru pemahaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dosisnya cukup tinggi. Jika dilihat, waktu itu saat hendak masuk SMP, SMA, perguruan tinggi (PT), PNS dan sebagainya harus mengikuti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Tetapi pasca reformasi tahun 1998 pemahaman nilai-nilai Pancasila menjadi kekurangan dosis, bahkan nyaris luntur seakan tidak ada urgensinya sama sekali untuk dirayakan atau hanya direflesikan dan menjadi ketertarikan bersama.
“Kondisi inilah yang memicu para penyelenggara negara untuk menghidupkan kembali pemahaman nilai-nilai pancasila pada seluruh elemen masyarakat,” jelas Pegiat Empat Pilar Kebangsaan di Kabupaten Purwakarta Didi Mulyadi, Selasa (22/8/2017).
Pada bulan Maret 2013, lanjut Didi, Ketua MPR (alm) Taufik Kiemas melahirkan gagasan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan meliputi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Yang mana Pilar Pancasila direpresentasikan sebagai pilar tegak kokoh berdirinya negara bangsa Indonesia. Pilar atau tiang penyangga suatu bangunan harus memenuhi syarat, misalnya disamping kokoh dan mantap juga harus sesuai dengan bangunan yang disangganya.
“Kedua Pilar UUD 1945. Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah UU basis 1945. Untuk memahami dan mendalami UUD 1945, diperlukan pemahaman lebih dulu makna UUD bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945,” lanjut Wakil Bendahara Depicab SOKSI Purwakarta ini.
Ketiga ada Pilar NKRI. Dimana seluruh elemen bangsa diwajibkan mengakui akan konsensus para founding father yang lebih memilih Indonesia sebagai Negara Kesatuan.
“Lanjut Pilar Bhineka Tunggal Ika
Semboyan Bhineka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular seorang pujangga agung kerajaan majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada abad ke 14 (1350-1389). Dalam kakawin sutasoma yang berbunyi “Bhineka ika tunggal ika tanhana dharma mangrwa” yang artinya : “berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua,” kata Pengurus DPD II Partai GOLKAR Kabupaten Purwakarta ini.
Semboyan itu dijadikan prinsip dalam kehidupan pemerintahan majapahit itu sebagai antisipasi keanekaragaman petunjuk yang dipeluk, oleh karena majapahit pada waktu itu meskipun mereka berbeda petunjuk tetapi mereka satu pengabdian.
EDITOR : DICKY ZULKIFLY