Pimpin Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi Perjuangkan Ideologi Marhaenisme

Foto : Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadidi bersama seorang petani asal Kampung Mekarsari Desa Mekarjaya Kecamatan Compreng Kabupaten Subang, Jawa Barat.

INDRAMAYU, headlinejabar.com

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi menekankan pentingnya implementasi ideologi Marhaenisme dalam setiap kebijakan skala regional maupun nasional. Menurut dia, Marhaenisme memiliki akar berupa kultur Indonesia sebagai bangsa sehingga bukan saja milik satu golongan semata.

“Meski Ketua Golkar Jawa Barat, saya ini seorang Marhaen. Saya menjalankan Marhaenisme itu dalam pola aplikatif baik sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat maupun sebagai Bupati Purwakarta,” tegas Dedi.

Ini ia sampaikan dalam acara Pembukaan Musyawarah Daerah Partai Golkar Kabupaten Indramayu, di Wisma Haji Indramayu, Rabu (14/9/2016). Dedi memandang, dimensi aplikatif nilai-nilai Marhaenisme dapat mengantarkan Jawa Barat menuju kesejahteraan.

Baca Juga  Dedi Mulyadi : Rakyat Jawa Barat Tidak Mau Jadi Nomor 2

Marhaen sendiri merupakan sosok yang ditujukan Presiden RI Soekarno kepada seorang petani di Jawa Barat. Soekarno menyebut Marhaen sebagai sosok petani yang memiliki lahan sawah, alat produksi dan hasil untuk kepentingan sendiri.

Mengapa Dedi berbicara tentang Marhaenisme, padahal istilah tersebut terbilang asing dalam partai yang dia pimpin, Dedi menegaskan, Marhaenisme dapat menjadi spirit Jawa Barat untuk meraih swasembada di bidang pertanian.

“Saya mendalami ide-ide Bung Karno, Marhaenisme itu sudah menjadi bagian kultur masyarakat Jawa Barat, itu cikal bakal serta roh kemandirian Jawa Barat dalam hal pangan. Marhaenisme itu semangat Jawa Barat untuk meraih swasembada beras,” ujar Dedi.

Menurut pria yang masih menjabat sebagai Bupati Purwakarta untuk periode yang kedua itu, kontekstualisasi Marhaenisme kini tercermin dalam laku kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di Jawa Barat.

Baca Juga  Dedi Mulyadi : Banyak Politisi Muda, Bagus untuk Regenarasi

Ia mengaku pernah berkeliling daerah adat di Jawa Barat dan menyaksikan upacara adatnya, semuanya memiliki karakter yang sama, memliki lumbung padi sehingga saat musim paceklik mereka tidak pernah kekurangan.

“Anda memproduksi beras sendiri, di lahan sendiri, untuk produksi sendiri dan sisanya disimpan di leuit (lumbung). Saat musim paceklik, beras yang disimpan itu masih aman dan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Itulah konsep Soekarno tentang Marhaenisme yang telah ratusan tahun diterapkan oleh masyarakat adat, Marhaenisme itu yang menghasilkan goah atau leuit atau lumbung,” ujar Dedi.

Kondisi di kampung adat yang dia kemukakan hari ini berbanding terbalik dengan kondisi petani pada umumnya. Ia sempat mendatangi Kecamatan Compreng Kabupaten Subang dan beberapa daerah lain di Jabar sebagai penghasil beras. Kondisi yang ia temukan, banyak buruh tani yang hanya menggarap lahan sawah milik orang lain dengan alat produksi sendiri namun hasilnya untuk orang lain.

Baca Juga  KPU Purwakarta Gelar Focus Group Disscusion-FGD P2S Pemilu 2019

Bahkan, ia juga menemukan banyak pemilik lahan sawah yang menggarap sawahnya, memanen hasilnya namun hasilnya justru langsung dijual ke tengkulak dengan harga rendah. Tidak ada beras yang disimpan sebagai cadangan saat musim paceklik sehingga akhirnya mereka harus kesulitan dan membeli beras mahal saat musim paceklik.

“Padahal mereka adalah tuan tanah atas sebidang sawah penghasil beras. Mereka bukan tuan, tuan itu ya mereka yang garap sawah pake tangan sendiri dan yang pasti memiliki beras sendiri,” pungkas Dedi.(*)

Editor : Dicky Zulkifly