Pemkab Purwakarta Terapkan Pendidikan Anti Korupsi Sejak Dini
PURWAKARTA, headlinejabar.com
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta melalui Dinas Pendidikan (Disdik) setempat telah menerapkan pendidikan anti korupsi sejak dini.
Berdasarkan Peraturan Gubernur nomor 10 tahun 2019 Kabupaten Purwakarta menerapkan pendidikan anti korupsi sejak dini.
Untuk mengajarkan pendidikan anti korupsi itu, semua sekolah-sekolah di Kabupaten Purwakarta membuat kotak kejujuran.
Kotak tersebut untuk menyimpan barang-barang yang ditemukan siswa namun bukan miliknya.
Cara itu rupanya efektif mengajarkan anak untuk tidak melakukan korupsi, sehingga tak ayal pendidikan anti rusuah ini direplikasi oleh Pemerintah Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara.
“Mereka belajar langsung di sini bagaimana pendidikan anti korupsi di Purwakarta dikembangkan,” jelas Sekertaris Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta Sadiyah.
Pendidikan anti korupsi seperti ini kata Sayidah terinsersi kedalam kurikulum dalam artian disisipkan modul pembelajaran kedalam kurikulum yang diajarkan.
“Misal pelajaran matematika karena itu ilmu pasti tidak ada istilah berbohong pasti 1 + 1 jadi 2, pendidikan anti korupsi pun harus seperti ini kalau ada uang A segini ya harus segini,” ucapnya.
Hal-hal itu disisipkan disemua mata pelajaran sehingga guru harus memahami terutama untuk guru tingkat sekolah dasar (SD).
“Kalau di SMP itu terinsersi ke dalam mata pelajaran PKN dan agama kalau yang SD terinsersi ke semua karena pembelajaran SD itu basic penanaman nilai yang paling dasar,” ujarnya.
Sejak diterapkan, banyak siswa didik di Kabupaten Purwakarta yang mampu membuat komik-komik anti korupsi.
Namun, kendati pendidikan anti korupsi sudah baik diterapkan, Sadiyah mengakui untuk kasus perundungan (bullying) disekolah, memang masih ada.
“Kita tidak bilang 0% ya, kadang-kadang ada saja memang kan pemberitaan itu sering kali ada tapi dia tidak melihat apakah ini kekerasan bullyingnya itu terjadi ketika bukan di lingkup sekolah atau di sekolah. Banyak hal ini bersambung-sambungan dulu,” paparnya.
Tiga perempat waktu anak-anak ada di rumah dan pihak sekolah tidak bisa memantau seluruh waktu.
“Kadang perilaku dirumah yang dibawa ke sekolah. Contoh di dalam TDBA (tatanen di bale atikan) ini ada program bagaimana pengelolaan sampah menjadi produk menjadi limbah yang diolah dan bisa produktif lagi untuk dimanfaatkan, nah di sekolah sudah oke tapi ketika di masyarakat kembali lagi dan ini memang agak sulit untuk menciptakan habituasi ya, butuh banyak dukungan bukan cuma di sekolah ya,” tutupnya.