PT IBR Purwakarta Bau Limbah

Dicky Zulkifly
Pemimpin Redaksi Headline Jabar
“Terima kasih banyak atas bantuan kalian. Selamat Natal,” kata seorang perampok kepada para satpam yang sudah dilumpuhkan itu, sebelum mereka kabur entah ke mana.
Fajar belum menyingsing pada Sabtu 26 Oktober 1983, enam perampok menyelinap masuk gudang Brink’s-Mat di Bandara Heathrow, London.
Keenam bandit mengikat satpam-satpam gudang, menyirami tubuh mereka dengan bensin, lalu menyalakan korek api untuk kemudian mengancam membakar para satpam jika mereka tidak mau membukakan pintu gudang.
Di dalam gudang itu, para perampok mendapati sekitar 7.000 batang emas, berlian, dan uang tunai.
Media massa Inggris menjuluki perampokan itu sebagai “Kejahatan Terbesar Abad Ini.” Sebagian besar harta curian para perampok itu tidak pernah ditemukan hingga kini. Kisah mereka menjadi misteri dan menginspirasi para generasi muda dunia hitam di Inggris.
Namun kini, dokumen-dokumen milik firma hukum Panama Mossack Fonseca yang bocor dan dengan masif menyebar ke seluruh dunia untuk sekaligus mengguncang dunia, telah mengungkapkan salah satu misteri dalam dunia kriminal itu.
Dari dokumen bocor yang kemudian disebut dengan “Panama Papers” itu, terungkap bahwa pendiri firma hukum itu, Jurgen Mossack, mungkin telah membantu para perampok Brink’s-Mat dalam menyembunyikan jejak harta rampokannya dari endusan pihak berwajib dengan melindungi mereka.
Dunia dikejutkan dengan sebuah kebocoran dokumen finansial berskala luar biasa, mengungkap bagaimana 12 kepala negara baik mantan dan yang masih menjabat memiliki perusahaan di yuridiksi bebas pajak (offshore) yang dirahasiakan. Dokumen yang sama membongkar bagaimana orang-orang yang dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengatur transfer dana sebesar US$2 miliar lewat berbagai bank dan perusahaan bayangan. 
Setidaknya, ada 128 politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia, namanya tercantum dalam jutaan dokumen yang bocor ini. Mereka terkait dengan berbagai perusahaan gelap yang sengaja didirikan di wilayah-wilayah surga bebas pajak (tax havens). 
Total catatan yang terbongkar mencapai 11,5 juta dokumen. Keberadaan semua data ini memberikan petunjuk bagaimana firma hukum bekerja sama dengan bank untuk menjajakan kerahasiaan finansial pada politikus, penipu, mafia narkoba, sampai miliuner, selebritas dan bintang olahraga kelas dunia. 
Temuan itu merupakan hasil investigasi sebuah organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists, sebuah koran dari Jerman SüddeutscheZeitung dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia. Satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam proyek investigasi ini adalah, Tempo. Sumber, Tempo.
Kabar mengejutkan itu bukan saja menjadi shock therapy, akan tetapi bisa menjadi kunci pembuka kejahatan terbesar. Bagaimana para pemilik modal dan kelompok elit bermain di balik ketiak lembaga raksasa. 
Ini merupakan gambaran, dan bukan hanya sebuah kebetulan. Kasus yang membuktikan kepada publik, sekalipun orang awam jika sebuah lembaga besar berkelas raksasa bisa terlibat dalam praktik kejahatan darah dingin. 
Tak menjadi jaminan pastinya. Jika lembaga besar merupakan pihak bersih yang anti-melakukan kesalahan. Jika demikian kenyataannya, maka tak tertutup kemungkinan perusahaan kecil kelas dan bertempat di daerah turut berani melakukan kesalahan, melanggar hukum dan beruntung di tanah yang buntung.
Menyapa Purwakarta, salah satu daerah terkecil kedua di Jawa Barat, memang tengah fokus melakukan pembangunan yang lebih baik. Di tengah masifnya laju pembangunan itu, rupanya masih ditemukan sedikit noda yang dipersembahkan dari partner bisnis pemerintah.
Memang, regulasi diciptakan pada dasarnya bukan untuk menyendat laju pembangunan daerah. Hanya saja, bagaimana sebuah aturan itu dibuat mendukung secara mekanisme di wilayah perkembangan investasi daerah. Investasi, pada dasarnya juga mesti memperhatikan keseimbangan pembangunan. 
Bau limbah menyengat, tercium dari perusahaan besar produk tekstil PT Indo Bharat Rayon (IBR) Purwakarta. Kasusnya mulai menjadi tontonan publik tepat di permulaan tahun 2016. Meski pada mulanya, perkara tersebut mulai bergulir menggelinding sejak 2013, pascaaktivis lingkungan hidup melaporkan dugaan pencemaran abu batubara bottom ash di Rawa Kalimati tempat aliran limbah IBR, pada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Kemenhut LH) serta Kejakaan Agung (Kejagung).
PT IBR membangun power plan untuk menggerakkan mesin di area power plan. Setiap harinya digunakan 10 ribu ton batu bara yang disimpan di stock file. Lalu dialirkan atau ditransfer ke empat broiler, menghasilkan sistem listrik yang berfungsi selama 24 jam.
Dari pembakaran batu bara itulah, dihasilkan 2100 sampai 2700 bottom ash. Sisa pembakarannya berupa abu, dikategorikan limbah B3. Perusahaan yang memproduksi serat rayon milik PMA India ini disinyalir ingin menghemat biaya pembuangan bottom ash. Namun nyatanya berdampak negatif terhadap lingkungan.
Babak Baru, Bau Limbah IBR

 

Baca Juga  Mengupas Masalah Pernikahan Dini

Foto : Pabrik PT Indo Bharat Rayon (IBR) Purwakarta. Sumber, istimewa

Sepak terajang kasus perusahaan yang berlokasi di Desa Cilangkap, Kecamatan Babakancikao Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat ini tak mesti dianulir.
Penyidik Kejagung kini telah menetapkan Manager Financial PT IBR, S Agarwalla sebagai terdakwa kasus pencemaran lingkungan. Bos Agarwalla menjadi wakil PT IBR yang didakwakan bersalah. Media sempat mendapat pembenaran langsung dari pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwakarta, melalui Kasi Pidana Umum (Pidum) Azwar Hamid.
“Iya benar, berkas perkara dan terdakwa IBR diwakili Agarwalla telah diserahkan penyidik Kejagung ke Kejari hari Kamis lalu,” ujar Azwar Hamid memberikan keterangan pada Senin (4/4/2016).
PT IBR sebetulnya telah diperingati dan ditegur oleh Tim Kementerian LH, agar cepat membersihkan (clean up) Kalimati dari abu dasar batubara (bottom ash), hingga mengalami pedangkalan. Dalam teknisnya, tim ahli menyiapkan diri untuk terlibat. Ulah limbah ini, hasil uji lab dan potret satelit dibuat 2001 hingga 2015 terlihat jelas Kalimati yang dulunya asri menjadi hitam pekat.
“Seharusnya disimpan di suatu tempat yang aman. Namun hal ini diabaikan. Bottom ash diduga dibuang disekitar IBR tepatnya di Rawa Kalimati,” ungkap Azwar.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WAPLI) Teddy Hartawan cukup puas dengan kinerja aparat penegak hukum, adanya kemajuan perkara pencemaran Kalimati. Sekalipun ia harus menunggu bertahun-tahun, paling tidak kasus ini sedikit didengar dan ada kemajuan.
“Ini progres bagus. Semoga dari perkara ini menimbulkan efek jera pelaku usaha industri, agar memerhatikan pembuangan limbah secara baik,” papar Teddy.
Sebelum bola panas kasus ini bergulir lebih kencang, Manager HRD PT IBR, Edi Kuraedi dihubungi wartawan mengaku belum mengetahui ihwal kasus yang mendera perusahaannya. “Saya baru dengar. Saya akan mempelajari dan bertanya dulu ke atasan soal ini,” terang Edi.
Saat ini, tim penyidik gabungan meminta Direktorat Jenderal (Dirjen) Imigrasi mencekal Direktur Keuangan PT IBR, Signath Agarwalla berkewarganegaraan India untuk tidak bepergian ke luar negeri. Cekalan itu dikeluarkan guna pihak bersangkutan tetap bisa dimintai keterangan pada saat dibutuhkan.
“Yang bersangkutan WNA asal India dan telah dicekal untuk bepergian ke luar negeri atau pulang ke negaranya. Terkait proses hukum tindak pidana lingkungan hidup yang melibatkan korporasi,” terang Azwarm Kasi Pidum Kejari Purwakarta, Senin (4/4/2016).
Signath Agarwalla. Diancam tuntutan pasal 98 juncto pasal 116 ayat 1 huruf a juncto pasal 119 UU nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pasal 64 KUHP Pidana. 
“Pada pemeriksaan, tindakan pembuangan limbah B3 ke sekitar pabrik untuk menghemat biaya operasional tapi mengakibatkan pencemaran lingkungan,” tutur Azwar.
Penyidik telah meminta keterangan ahli perihal pencemaran tanah dan air sisa pembakaran batu bara. Hasil uji laboratorium Intertex di Jakarta, mencatat sisa pembuangan batu bara mengandung 95 persen karbon, dikonversi menjadi gas CO2 yang memiliki sifat racun.
Sementara berdasarkan keterangan ahli, pecahan batu bara itu berdasarkan kadar baku mutu termasuk beracun dan mengakibatkan tanah dan air di sekitar pabrik terkontaminasi limbah B3. Kasus ini turut dikuatkan melalui foto citra satelit yang diambil pada 2010 silam.
Rasa pahit memang mesti ditelan bulat-bulat oleh masyarakat yang tinggal di sekitaran perusahaan ini. Soal limbah, rupanya IBR memiliki riwayat yang panjang. Namun, entah mengapa kasusnya selalu bias ditelan waktu. Sekalipun pada kasus yang sudah dilupakan aparat penegak hukum maupun pemerintah. Soal dugaan kebocoran gas dari pipa PT IBR misalnya. Sempat menyebabkan empat warga Kampung Sawah RT 05 RW 02 Desa Cilangkap Kecamatan Babakancikao Purwakarta tak sadarkan diri. Peristiwa ini terjadi pada bulan Februari 2015, tahun lalu.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Purwakarta memastikan tidak ada yang namanya kebocoran gas dari pipa PT IBR. Ini disampaikan langsung oleh Kepala Bidang Informasi dan Kemitraan BLH Purwakarta saat itu, Ade Abu.
Ade menilai, kejadian yang mengakibatkan empat orang pingsan dan yang lainnya didera pusing-pusing, dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti proses pengolahan dalam pabrik yang kurang sempurna, cuaca yang watu itu tengah diguyur hujan, sehingga asap yang keluar dari cerobong asap tertekan ke bawah.
Selain alasan itu, bisa jadi kata dia, kejadian disebabkan oleh ketinggian cerobong yang kurang tinggi. Sehingga, perusahaan harus melengkapi outside plant asap dengan alat CEMS untuk mengetahui kadar asap yang keluar dari cerobong.
“Kami sudah melakukan kroscek ke sana, tapi dugaan kebocoran pipa gas tidak ada,” kata Ade ditemui di kantorna, Jumat (20/2/2015). Kejadian ini hanya dijadikan bahan dasar evaluasi BLH Purwakarta kedepan. Agar hal serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari.
“Itu harus diadakan audit lingkungan. Tentu lebih afdol auditnya dibarengi dengan kementrian, bukan berarti kita tidak bisa tapi tidak ada alatnya. Kalau kementrian-kan punya,” seloroh Ade.
Kembali pada persoalan limbah batu bara PT IBR. Saat sebelum ada power plant PT IBR, kawasan Kalimati memang tampak asri. Saat ini pasca dilimbahi, kawasan danau Kalimati terjadi pendangkalan yang signifikan, dan Kalimati berubah warna. Menjadi hitam lekat, menakutkan, dan kadang berbau tak sedap.
Manajer Bagian Perizinan Tenaga Kerja Asing PT IBR Irwan Setiawan membantah seputar Direktur Keuangan PT IBR, Signath Agarwalla dicekal Dirjen Imigrasi bepergian ke luar negeri terkait penetapan status tersangka.
Secara umum PT IBR sempat mengundang media dalam agenda konferensi pers. Kepada media Irwan memastkan, belum ada surat pencekalan terhadap Direktur Keuangan PT Indo Bharat Rayon, Sibnath Agrawalla.
“Sampai sejauh ini belum ada pencekalan kepada individu, lagian ini personal korporasi,” tutur Irwan, Kamis (7/4/2016).
Agrawalla mewakili perusahaan pada penetapan kasus pencemaran lingkungan. Masih petinggi-petinggi IBR yang perannya sama. Hanya saja, karena Agrawalla lebih diandalkan perusahaan, akhirnya dia mewakili korporasi pada penetapan kasus pencemaran lingkungan. “Agrawalla ditunjuk korporasi untuk mewakili,” terang Irwan.
Jadi, soal pencekalan kepada individu itu tidak benar adanya. Karena hingga saat ini belum ada surat pencekalan bagi Agrawalla. Penetapan tersangka dan pencekalan memang berdampak sangat bagi IBR. Khususnya bagi individu Agrawalla, yang merasakan khawatir mendalam.
“Kondisi saat ini berpengaruh terhadap perusahaan, dan secara emosional mungkin ada kekhawatiran individu, padahal kan status ini untuk korporasi perusahaan,” papar Irwan.
Bagaimana kelanjutan dari kasus ini, apakah akan benar-benar selesai di meja hijau, dimana hukum merajai dan menjadi panglima kehidupan. Atau, selesai dengan faktor lain, di tempat lain, dan suasana lain. Tentu, bukan hanya waktu yang akan menjawab. Karena pada nyatanya, kasus ini sering bias bersamaan dengan waktu. Kepada siapa kebenaran ditanyakan?(**)