PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) meyakinkan Kereta Cepat rute Bandung-Jakarta yang bekerja sama dengan Tiongkok aman digunakan. Tiongkok sudah sejak lama membeli teknologi dari Jerman dan Jepang, lalu mengembangkannya sendiri. Bahkan, berdasarkan Safety Integrity Level, China sudah mencapai 4 poin ketika sejumlah kereta cepat di Eropa rata-rata masih mencapai 3 poin.
“Kalau berbicara soal kecelakaan kereta cepat, rata-rata seluruh negara yang memiliki kereta cepat juga sudah pernah mengalami kecelakaan. Jepang mengalami kecelakaan sebanyak 7 kali sementara China 12 kali,” kata Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China, Hanggoro Budi Wiryawan, Rabu (30/3/2016).
Akan tetapi, Jepang mengalami 7 kecelakaan dari total panjang jalur kereta cepat sepanjang 2.700 km. Sementara China mengalami kecelakaan sebanyak 12 kali dari total panjang jalur sekitar 16.000 km.
Ia menyampaikan, jauh sebelum Tiongkok membuat dan mengembangkan kereta cepat di negara tersebut pada 2003, ratusan doktor dari Tiongkok sudah disekolahkan ke sejumlah negara yang memiliki teknologi kereta cepat, salah satunya yakni ke Jerman. Menurut Hanggoro, tujuannya satu, untuk menguasai teknologi kereta cepat. Salah satu hasilnya, saat ini kereta cepat Tiongkok merupakan yang paling kencang di dunia.
“Kereta cepat Tiongkok yang beroperasi sudah mencapai maksimal 480 km per jam dan sedang uji coba dengan yang 600 km per jam. Sementara yang diuji coba Jepang saat ini mencapai maksimal 500 km per jam. Bila hasil uji coba tersebut berhasil, maka kereta cepat Tiongkok dipastikan merupakan kereta cepat yang paling kencang di dunia. Dengan demikian, dari sisi teknologi dan keamanan, tidak ada alasan untuk meragukan Tiongkok,” katanya.
Dengan demikian, alasan pengembangan kereta cepat bekerja sama dengan Tiongkok bukan semata adanya jaminan alih teknologi semata. Akan tetapi, memang dari sisi kualitas, kereta cepat Tiongkok juga lebih unggul. Harapannya, dengan adanya alih teknologi, Indonesia bisa mengembangkan kereta cepat karena sudah menguasai teknologinya. Apalagi, ketika melakukan pengembangan, Indonesia juga bebas dari utang.
“Kerja sama dengan Tiongkok itu bisnis dengan bisnis, artinya Indonesia tidak mesti berutang. Berbeda halnya dengan proposal yang ditawarkan oleh Jepang. Pemerintah ingin proyek kereta cepat dilaksanakan akan tetapi jangan sampai membebani negara dengan utang, oleh karena itu, proposal dari Tiongkok yang tepat. Dengan demikian, memang banyak alasannya, bukan semata karena adanya jaminan alih teknologi semata,” katanya.
Salah satu bukti komitmen adanya alih teknologi pada kerata cepat Tiongkok yakni rencana pembangunan pabrik rolling stock di Purwakarta dan pembangunan pabrik alumunium grade alumina di Mempawah, Kalimantan Barat. Selain itu, pengawalan alih teknologi ini juga dijaga salah satunya dengan tetap mempertahankan saham mayoritas di PT KCIC dari gabungan BUMN Indonesia sebesar 60 persen.(*)