Dedi Mulyadi Sebut Ada Tiga Unsur Bibit Intoleransi, Apa Saja?

Foto : Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menjadi pembicara di Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (16/3/2017).

JAKARTAheadlinejabar.com

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menyebut tiga hal yang menjadi bibit intoleransi di tengah kehidupan masyarakat. Ketiga hal ini dapat dihadapi, apabila seluruh stakeholder masyarakat maupun aparat menjalankan fungsi kenegaraan berdasarkan konstitusi.

“Bibit intoleransi itu bisa tumbuh subur ketika ada tiga hal, kurang tegasnya aparat, faktor pendidikan dan persoalan tata kota,” ungkap Dedi  menjadi pembicara di Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Baca Juga  Blok Masela Miliki Kronologi Panjang

Aparat menurutnya, harus memiliki ketegasan untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga negara dalam menjalankan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan mereka masing-masing. Maka tidak boleh ada kompromi sedikit pun antara aparat dengan kelompok yang melakukan gerakan intoleransi mengatasnamakan agama.

“Aparat dalam hal ini tidak boleh ada kompromi, kalau dilakukan kompromi, maka sama saja dengan melakukan pembiaran terhadap gerakan intoleransi,” katanya.

Kurangnya edukasi terhadap nilai-nilai kebangsaan pun menjadi sorotan pria yang juga seorang budayawan tersebut. Ia berujar, pemahaman bahwa perbedaan merupakan rahmat bagi umat manusia harus tersosialisasikan dengan baik sejak dini.

Sebagai bupati, Ia telah konsisten melaksanakan program sekolah ideologi dalam rangka menguatkan nilai kebangsaan dan kebhinekaan kepada warga Purwakarta terutama para pelajar.

Baca Juga  Sandi Apresiasi Pasukan Orange Buat Mural Asian Games

“Pendidikan kita secara umum harus mengajarkan toleransi dan menanamkan bahwa perbedaan pendapat itu merupakan hal yang bersifat wajar,” ujarnya.

Pembangunan tata kota pun disebut oleh Bupati yang telah menjalani masa jabatan selama dua periode tersebut sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab menjamurnya intoleransi. Ia mencontohkan, saat orientasi pembangunan tata kota berpusat pada komersialisasi tanpa memperhatikan warga miskin di sekitarnya akan menimbulkan kesenjangan ekonomi.

Ketika kesenjangan ekonomi ini kian melebar, ia menegaskan, dari situlah faham radikalisme mulai tumbuh, sehingga dalam konteks ini persoalan kemiskinan menjadi salah satu penyebab kemunculan radikalisme.

Baca Juga  TNI AL Tangkap Kapal Berbendera China

“Inkonsistensi pembangunan tata kota, perumahan elit, komersialisasi itu bisa menimbulkan kesenjangan ekonomi. Nah, dari sinilah muncul radikalisme, masyarakat menjadi galau, saya kira hal ini harus diperhatikan oleh Komnas HAM juga.” tandasnya.

Lebih jauh, pria yang mempopulerkan iket Sunda untuk dipakai di acara resmi kenegaraan itu pun menyebut bahwa isu Agama seringkali menjadi alat kepentingan sementara kelompok untuk memenangi kontestasi politik. Jika fenomena ini terus berlangsung, ia merasa khawatir kehidupan demokrasi di Indonesia akan semakin tercederai.

“Kalau isu Agama terus menerus dipakai sebagai komoditas politik, ini sangat berbahaya bagi perkembangan iklim demokrasi yang sejuk,” pungkasnya.

EDITOR : DICKY ZULKIFLY