Aksi Dibatasi saat May Day, AJI dan FSPM Independen Kecam Polda Metro

JAKARTA, headlinejabar.com
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, bersama Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen mengecam  Polda Metro Jaya seputar pembatasan terhadap unjuk rasa buruh pada saat perayaan May day 1 Mei 2016 mendatang. Polda Metro membatasi aksi buruh dengan dalih hari bebas kendaraan bermotor, atau Car Free Day (CFD).
Sekretaris Jenderal FSPM Independen, Sasmito Madrim mengatakan, keluarnya ancaman dari Polda Metro Jaya akan menindak aksi di hari buruh jika mengganggu CFD melanggar hak orang lain. Polda Metro Jaya mengeluarkan ancaman akan menindak aksi di hari buruh internasional yang bertepatan dengan hari bebas berkendaraan pada Minggu (1/5/2016).  
“Polda Metro Jaya beralasan aksi peringatan Hari Buruh Internasional melanggar hak orang lain untuk turut serta dalam CFD. Kepolisian pun melarang buruh berdemonstrasi melintasi Jalan Sudirman-MH Thamrin,” jelas Sasmito di Jakarta, Sabtu (30/4/2016).
Hari Buruh Internasional berlangsung tiap 1 Mei tidak muncul begitu saja. Hari Buruh Internasional memiliki sejarah panjang dengan perlawanan atas ketidakadilan terhadap buruh khususnya dalam jam kerja yang diberlakukan secara tidak manusiawi di seluruh dunia. Semula jam kerja diberlakukan sewenang-wenang, lalu ditetapkan menjadi 8 jam sehari. Hal ini yang kemudian dirasakan manfaatnya sampai kini oleh umat manusia seluruh dunia.
“Kepolisian pun melarang buruh berdemonstrasi melintasi Jalan Sudirman-MH Thamrin,” kata dia.
Ia mengatakan, hak menyatakan pendapat mendapat jaminan dalam pasal 28E Undang-undang Dasar 1945. Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 juga menjamin kebebasan menyatakan pendapat di muka umum.
Akan tetapi, di May Day 2016 kepolisian terindikasi bertindak represif. Yakni dengan melarang kegiatan demo buruh di Jalan Sudirman-Thamrin dengan dalih CFD. Terlebih dengan menggunakan alasan hak warga mengakses CFD yang seolah-olah bertentangan dengan kegiatan aksi demo buruh. 
“Larangan ini memancing pendapat warga Jakarta untuk menjadi cemas seolah-olah warga dan buruh saling berhadapan,” ujar dia.
Menurut Sasmito, larangan demo Hari Buruh Internasional di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, bukan saja membuat warga Jakarta cemas. Tapi juga bentuk represivitas kepolisian terhadap kebebasan berekspresi. 
Karena itu, FSPM Independen bersama AJI Jakarta menegaskan menolak kebijakan larangan aksi demo Hari Buruh Internasional di Jalan Sudirman-Thamrin. Pihaknya juga mendesak Kepolisian untuk menghentikan opini yang membuat warga Jakarta ketakutan dan panik terhadap demo buruh.
Mereka juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja kepolisian terhadap penanganan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Perjuangan melawan ketidakadilan dalam dunia perburuhan tidak berhenti sampai di situ. Detik ini, buruh di Indonesia masih dihadapkan oleh penindasan melalui upah murah, kriminalisasi, sampai regulasi yang menyebabkan kemiskinan bagi buruh yaitu Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. 
Dalam PP ini, kenaikan upah buruh tiap tahun ditentukan melalui lembaga pemerintah bernama Badan Pusat Statistik (BPS), bukan lagi melalui proses negosiasi berbasiskan komponen hidup layak.
Aksi 1 Mei merupakan momentum bagi buruh untuk menyuarakan aspirasinya. Momentum bagi buruh untuk menyatakan pendapat dan kritik atas sistem yang tidak adil. Hari di mana buruh dan warga Indonesia berjuang agar hidup dan kehidupan menjadi lebih baik.
“Hak menyatakan pendapat juga mendapat jaminan dalam pasal 28E Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang no 9 tahun 1998 juga menjamin kebebasan menyatakan pendapat di muka umum,” terang dia.
Akan tetapi, di dalam momentum 1 Mei 2016 kepolisian terindikasi untuk bertindak represif dengan melarang kegiatan demo buruh di Jalan Sudirman-Thamrin dengan dalih CFD. Apalagi dengan menggunakan alasan hak warga mengakses CFD yang seolah-olah bertentangan dengan kegiatan aksi demo buruh. Tentu larangan ini memancing pendapat warga Jakarta untuk menjadi cemas seolah-olah warga dan buruh saling berhadapan.
“Kepolisian juga sudah lupa, CFD pernah ditiadakan ketika tamu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Afrika ke-60 mulai berdatangan pada April 2015 silam. Di tahun yang sama CFD juga pernah ditiadakan karena penyelenggaraan Mandiri Jakarta Marathon. Akan tetapi ketika demo Hari Buruh Internasional 2016, CFD tetap diberlakukan dan bahkan menghilangkan hak buruh mengemukakan pendapat,” papar dia.
Larangan demo Hari Buruh Internasional di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin bukan saja membuat warga Jakarta cemas, tapi juga bentuk represivitas kepolisian terhadap kebebasan berekspresi. Untuk itu, AJI Jakarta dan FSPM Independen membuat pernyataan sebagai berikut:
1. Menolak kebijakan larangan aksi demo Hari Buruh Internasional di Jalan Sudirman-Thamrin.
2. Mendesak Kepolisian untuk menghentikan opini yang membuat warga Jakarta ketakutan dan panik terhadap demo buruh.
3. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja kepolisian terhadap penanganan kebebasan berekspresi di Indonesia.(*)

Reporter : Yusup Stefanus
Editor : Dicky Zulkifly
Baca Juga  Regulasi Pertanahan Harus Mampu Atasi Sengketa Lahan