Ulama Garut Ngaji Islam Kultur Bareng Kang Dedi
GARUT, headlinejabar.com
Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi menghadiri acara diskusi yang digelar oleh MUI Kabupaten Garut, di Kantor Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut, Jalan Otto Iskandar Dinata, Garut Jawa Barat, Kamis (13/4/2017).
Dedi yang didapuk sebagai keynote speaker dalam acara tersebut membahas tentang hubungan antara ajaran Islam secara substansi dengan tradisi yang dianut oleh masyarakat Sunda terdahulu.
“Semuanya itu pada zaman terdahulu di tanah Sunda, sudah diajarkan pondasi ajaran Islam, sehingga saat Islam didakwahkan oleh para Wali di tanah Sunda, sudah tinggal memasukan sarungnya saja. Kalau pun terdapat candi di tatar Sunda seperti Candi Cangkuang di Garut dan Candi Batujaya di Karawang, itu pendatang, bukan asli Sunda tapi dari Campa atau Kamboja,” jelas Dedi di depan para para ulama dan pemimpin ormas Islam di Garut.
Soal kultur, Dedi sempat mencontohkan budaya di pesantren, cukup dengan mengikuti sang kiai menurutnya, seorang santri atau murid biasanya sudah dapat memperoleh ilmu.
Meskipun, faktanya, santri tersebut tidak mengaji secara khusus. Menurut dia, hal ini membuktikan bahwa ilmu dapat diperoleh melalui pewarisan tingkah laku dan ucapan guru yang setiap hari diikuti oleh santri tersebut.
“Saya itu awalnya kurang percaya kalau ada kiai yang bisa mentransfer ilmu tanpa melalui proes belajar, tetapi di pesantren itu ternyata ada,” singkatnya.
Hubungan antar kultur Sunda dan Islam secara religi juga sempat dijelaskan oleh Bupati Purwakarta tersebut.
Cara orang Sunda yang membangun rumah biasanya menurut dia, selalu diserta dengan jendela berukuran besar dan disamping jendela tersebut selalu ada ayam pelung yang setiap “janari” (waktu sepertiga malam) berkokok membangunkan penghuni rumah.
“Jendela dibuat besar-besar agar cahaya matahari mudah masuk, sehingga rumah menjadi sehat. Ini kan simbol kepasrahan pada Qadha dan Qadar yang dimiliki oleh orang Sunda. Di dekat kamar itu ada ayam pelung, berfungsi untuk membangunkan penghuni rumah sebelum waktu shubuh tiba,” katanya.
Dedi menutup paparannya dengan penegasan bahwa Islam yang berbasis kebudayaan jika diaplikasikan secara menyeluruh, akan memberikan kedamaian dan kerukunan di setiap wilayah.
Misalnya, nilai kebudayaan Sunda misalnya Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh sama sekali tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. Melainkan menurut dia, kedua nilai itu justru saling menguatkan.
“Sopan santun, tutur bahasa, tingkah laku dan perbuatan itu semua diajarkan,” pungkasnya.(rls)
EDITOR : DICKY ZULKIFLY