Tokoh Nasional Bahas Deradikalisasi di Pesantren Al-Hikam Depok
Foto : Kegiatan Diskusi terbatas Wantimpres dengan tema Moderasi Cegah Dini Radikalisme dan Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Pesantren Al-Hikam Beji, Depok Jawa Barat, Kamis (3/3/2016)
DEPOK, headlinejabar.com
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengundang Hakim Agung dan Kejaksaan Agung. Keduanya diminta menjadi narasumber dalam diskusi terbatas Wantimpres dengan tema Moderasi Cegah Dini Radikalisme dan Terorisme Menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Pesantren Al-Hikam Beji, Depok Jawa Barat, Kamis (3/3/2016).
“Kita mendapatkan kehormatan, kesempatan langka dengan kedatangan Hakim Agung dan Jaksa Agung Muda. Kedatangan beliau ini untuk menghormati tokoh Ulama dan Kiyai,” ujarnya di hadapan pimpinan pesantren seluruh Indonesia.
Saat ini dalam bidang terorisme terbagi dua yaitu: hard terorisme dan soft terorism. Ia mengungkapkan, hard terorisme yang dikenal dengan kekerasan atau menggunakan kekuatan persenjataan. Namun, soft terorisme yang justru memakan lebih banyak korbannya menjadi lebih besar dibanding hard terorisme.
Dirinya menambahkan, soft terorism merupakaan teror lunak dan mematikan. Sebagai contoh, lanjutnya, kasus narkoba berdasarkan laporaan telah menyebabkan 5,8 juta jiwa meninggal.
“Penanganan teroris tidak bisa ditangani dari segi ekonomi, kenegaraan, agama, tapi juga dari segi hukum. Sebab, banyak juga keputusan MA direduksi faktor lain dan inilah lika liku hukum kita. Perlu kita ketahui, kasus korupsi bagian dari Kejaksaan dan bukan KPK saja. Korupsi ini populer karena yang ditangkap orang populer. Kita berharap bisa memperdalam wawasan masalah hukum,” harapnya.
Sementara itu, dari Hakim Agung Dr. H. Suhadi mengungkapkan bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan terhaadap kemanusiaan. Ia menilai sebagai satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan usaha kerjasama internasional dalam penanganannya. Dirinya menegaskan sanksi pidana paling tinggi mati dan bagi korporasi pidana denda paling banyak Rp1 triliun.
“Dari tahun 2010-2015 perkara terorisme kasasi pidana khusus sebanyak 15 perkara yang masuk. Karena dampak yang ditimbulkannya sangat dahsyat, maka penanganannya harus ekstra yang melibatkan semuanya,” paparnya.
Jaksa Muda Bagian Intelijen Adi Toegarisman menilai dampak radikalisme dan terorisme pada MEA bisa berdampak tidak baik. Pasalnya, investasi bisa berkurang dan tenagaa kerja Indonesia tidak digunakan. Sehingga, bisa mengakibatkan daya saing Indonesia dibandingkan dengan Negara ASEAN akan menurun.
“Untuk itu dibutuhkan stabiliitas yang mantab. Salah satunya revisi akhir RUU Terorisme yang dilakukan Pemerintah, terhadap perbuatan persiapan dapat dipidanakan. Begitu juga, pelatihan Militer dapat dipidanakan,” tandasnya.(yog/dzi)