Soal Pelarangan Wayang, Kang Dedi: Mereka Gagal Faham
Foto : Dedi menilai, tradisi wayang telah mengajarkan filosopi dasar kemanusiaan.
PURWAKARTA, headlinejabar.com
Foto spanduk pelarangan gelaran pertunjukan wayang yang beredar bahkan viral di sosial media baru-baru ini, turut mengundang komentar Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang juga seorang budayawan Sunda ini. Menurutnya, orang yang membuat spanduk tersebut sama sekali tidak mengenal Keindonesiaan dan substansi Keislaman.
Hal tersebut ia ungkapkan hari ini Selasa (24/1) di rumah dinasnya, di Jalan Gandanegara No 25 Purwakarta.
“Saya kira mereka gagal faham, pemahaman Keislaman dan Keindonesiaan mereka belum selesai,” ungkap Dedi.
Pria yang kerap disapa Kang Dedi itu menjelaskan tradisi wayang telah mengajarkan filosopi dasar kemanusiaan. Hal ini tentu tidak dibuat serta merta, melainkan ia menyebut para wali dengan cerdas memasukan nilai keislaman berupa rukun Islam dan rukun Iman ke dalam lakon wayang dengan sangat kontemplatif.
“Kalau ingin memahami karakter manusia, itu semua dapat kita pelajari dari setiap karakter dan lakon wayang, nilai-nilai simbolik tersaji disana, narasi tentang keislaman pun disajikan oleh dalang dengan cara ‘silih sindir sindang siloka’ sehingga bahasanya halus dan mudah dimengerti masyarakat awam,” jelasnya.
Melalui kehalusan yang tersaji dalam setiap lakon wayang, Dedi melanjutkan, nilai-nilai keislaman dapat tersebar ke penjuru Nusantara seperti saat ini. Kehalusan yang dia maksudkan itu adalah pengajaran budi pekerti orang Indonesia.
“Ajarannya halus sekali, mengajak tidak seperti mengajak. Wayang tidak bisa bergerak tanpa dalang, ini pengajaran tentang teologi penyerahan diri kepada Allah SWT karena seluruh gerak yang dilakukan oleh makhluk hidup itu karena-Nya,” jelasnya kembali.
Karena kehalusan ajaran ini pula, penyebaran Islam di bumi Nusantara tidak sedikit pun dihiasi konflik dan kekerasan. Hal ini menandakan, penerimaan penduduk Nusantara terhadap nilai-nilai keislaman ini sangatlah kuat.
“Boleh buka sejarah, tidak ada konflik dan kekerasan yang terjadi karena penyebaran Islam melalui instrumen wayang, ini membuktikan bahwa penerimaan orang Sunda dan orang Jawa juga penduduk Nusantara yang lain terhadap agama, ini sangat kuat,” pungkasnya menutup.
Spanduk pelarangan wayang itu sendiri dipandang oleh pria yang selalu mengenakan pakaian khas Sunda ini sebagai bagian dari upaya memperkeruh suasana antara pecinta wayang dengan kelompok yang selama ini mengatasnamakan pemurnian syari’at.
EDITOR : DICKY ZULKIFLY