Pencairan DAK Lambat Tambah Beban Daerah

Foto : Ilustrasi.ISTIMEWA

PURWAKARTA, headlinejabar.com

Menjelang akhir tahun pencairan dua termin sisa dana alokasi khusus (DAK) terlambat. Hal ini berdampak pada beban utang anggaran pemerintah daerah. Kelambatan turunnya DAK belum diketahui pasti hingga saat ini.

Keterlambatan pencairan DAK ini turut dirasakan langsung oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta, Jawa Barat. Keterlambatan pencairan DAK terletak pada termin kedua, atau 45 persen dari pagu anggaran yang diperuntukan.

Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Purwakarta, Irsyad Nasution menyebut, DAK turun pada termin pertama sekitar 30 persen.  Disusul termin kedua dan ketiga masing-masing 45 persen dan 25 persen.

“Teknisnya, kalau DAK termin pertama sebesar 30 persen sudah ada, dan digunakan sebanyak 90 persen dari total anggaran termin pertama, kita bisa mengajukan sisa yang 45 persen. Dan seterusnya. Kita sudah mengajukan yang 90 persen itu,” kata Irsyad kepada headlinejabar.com di ruang kerjanya, Rabu (28/12/2016).

Baca Juga  Warga Cilodong Depok Diresahkan dengan Munculnya Aliran Baru

Namun, proses pencairan termin kedua berlangsung lama. Biasanya, kata Irsyad, kalau sudah mengajukan, paling telat dua minggu sisa 45 persen DAK dicairkan.

“Sekarang ini (termin kedua, red) baru cair tanggal 27 Desember kemarin. Mau mengajukan sisa yang 25 persen kapan. Ini kan harus diproses administrasinya. Sementara waktu tahun sudah habis,” jelas Irsyad.

Daerah terbebani dari sisa termin DAK terakhir yang terlambat dicairkan. “Jadi ini mau diproses kapan. Nah, otomatis yang sisa 25 persen DAK ini, menjadi beban daerah,” terang dia.

Lalu bagaimana dampak dari keterlambatan pencairan DAK ini. Irsyad menjawab, sudah pasti berbagai bentuk kegiatan pembangunan daerah yang alokasi dananya bersumber dari DAK tidak rampung 100 persen.

Diprediksi, pemerintah daerah harus memproses pencairan termin sisa DAK ketiga di awal tahun 2017 mendatang. Ini dikarenakan keterlambatan pencairan DAK termin kedua.

Baca Juga  Cek, Rp2,1 Triliun APBD Purwakarta 2019 untuk Apa Saja

“Solusinya. Pasti daerah harus menyediakan dana pinjaman untuk membayar pada pihak ketiga. Sementara DAK tidak ada. Dan kita uangnya dari mana,” sebut dia.

Sektor pendapatan lain mulai nilai pajak daerah, dan dana bagi hasil provinsi tidak berjalan. Postur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sendiri, disumbang dari pajak daerah, dana bagi hasil provinsi, dana bagi hasil pusat, dana alokasi umum (DAU), DAK, dan bantuan keuangan provinsi.

“Pajak daerah dengan pertumbuhan ekonomi tersendat-sendat seperti ini, tidak tercapai semua. Mulai pajak PJU. Dulu, mengapa pajak PJU begitu besar, karena di Purwakarta ada PT Tata Jabar,” terang dia.

Dulu, PT ini berkeja sama dengan PLN. Sementara PLN baku mutu voltasenya naik turun. Sehingga untuk industri, hal ini menjadi masalah tersendiri. “Tata Jabar beli listrik dari PLN. Dia mengolah listrik melalui energi gas, sehingga voltasenya stabil,” kata Irsyad.

Baca Juga  Terkait Peripetan, Warga Pasar Simpang Datangi Pemkab Purwakarta

Tetapi PT Tata Jabar menjual listrik ke masyarakat lebih mahal ketimbang PLN. Otomatis pajak penerangan jalan (PPJ)-nya lebih tinggi dari PLN. Lalu fenomena harga gas naik. Jika PT Tata Jabar menaikkan ongkos produksi, perusahaan ini kehilangan konsumen.

Akhirnya perusahaan ini bangkrut. Sampai sekarang, PT Tata Jabar tidak lagi beroperasi. Dampaknya, PPJ daerah terdampak penurunan. “Pajak PJU tidak tercapai. Bagaimana dengan BPHTB. Kalau saya, ngitung potensi itu harus terukur,” kata Irsyad.

Analoginya, jika kekuatan kendaraan itu  hanya bisa dipacu 120 Km perjam, tak bisa dipaksakan lebih. Begitu juga dengan potensi pajak. “Permasalahan lain, dana bagi hasil pusat tidak terealisasi. Untuk DAU tidak ada masalah,” tutur dia.

Dicky Zulkifly