Pembatalan Pasal Perbup Purwakarta Desa Berbudaya Sebuah Kezaliman
Foto : Ilustrasi.
PURWAKARTA, headlinejabar.com
Dosen Hukum Adat Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Dr Bambang Daru Nugroho SH MH menilai, pembatalan sejumlah pasal dalam Peraturan Bupati (Perbup) Purwakarta No70 A tahun 2015 tentang Desa Berbudaya sebagai kezaliman.
Salah satu pasal yang mengatur beas (beras) perelek turut dibatalkan. Pembatalan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Jabar Nomor 188.342/Kep.1354-Hukham 2015 Tentang Pembatalan Beberapa Ketentuan Dari Perbup Desa Berbudaya.
“Perbup itu kan terkoneksi dengan perdanya di Purwakarta. Sepanjang itu sudah jadi model yang berlaku di masyarakat Purwakarta, DPRD nya setuju, itulah yang terbaik. Kalau gubernurnya ngobrak-ngabrik ya dzolim,” ujar Bambang melalui ponselnya, Rabu (2/11/2016).
Menurutnya, beas perelek merupakan satu dari sekian nilai kearifan lokal yang berlaku di masyarakat Sunda. Mengakomodir itu dalam hukum positif di Indonesia dinilainya sangat bagus.
“Dan UUD 1945 melindungi nilai kearifan lokal beserta identitas masyarakat adat. Saya rasa beas perelek itu bagus banget, itu kan mengajari keihlasan, (akomodir) gotong royong, jadi menurut saya harus diteruskan karena termasuk kearifan lokal,” ujar Bambang.
Ia juga mengkritisi pembatalan pasal di perbup itu yang mengatur larangan bertamu hingga di atas pukul 21.00, termasuk melarang pelajar keluyuran di atas pukul 21.00.
“Itu juga kearifan lokal. Kalau pelajar keluyuran di atas pukul 21.00 kan bakal banyak setan yang bisa menjerumuskan anak muda ke hal – hal negatif. Termasuk soal larangan bertamu di atas pukul 21.00, aturan adat memang harus dibatasi,” ujar dia.
Ia menambahkan setiap hukum positif yang dibuat pemerintah harus berasaskan landasan filosofis, sosilogis dan yuridis.
“Beras perelek, larangan tamu berkunjung di atas pukul 21.00 maupun larangan pelajar keluyuran di atas pukul 21.00 itu kan memiliki dan termasuk dalam landasan sosiologis dan filosofis,” papar dia.
Ia menyarankan Pemkab Purwakarta untuk mengajukan gugatan terhadap pembatalan tersebut.
“Saya kira (Pemkab Purwakarta) bisa menggugat pembatalan itu, sebab itu kearifan lokal dan seperti yang saya katakan, mengadopsi kearifan lokal dalam hukum positif itu adalah keharusan, bahkan UUD 1945 juga melindungi,” kata dia.
Bambang menyebut, Purwakarta termasuk daerah yang konsisten menerapkan kearifan lokal dalam kebijakannya.
“Saya ingat tuh, Purwakarta itu kan yang dulu ramai-ramai pacaran di atas jam 21.00 dinikahkan,” tilai dia.
Seperti diketahui, dalam keputusan gubernur itu membatalkan 14 pasal dalam Perbup Desa Berbudaya. Pasal 6 huruf b tentang beras perelek yang merupakan tradisi masyarakat Jabar untuk mengatasi krisis pangan dibatalkan. Alasannya, bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Penulisan kata beas perelek perlu dituangkan di dalam ketentuan umum dalam perbup tersebut agar mudah dimengerti maknanya dan tidak menyebabkan multi tafsir,” ujar gubernur dalam keputusan tersebut.
Tidak hanya itu, pasal di perbup yang mengatur tentang anak usia sekolah dilarang berada di luar rumah lebih dari pukul 21.00 sebagaimana diatur di pasal 6 huruf i Perbup Desa Berbudaya juga dibatalkan.
Kemudian kewajiban tamu melapor ke ketua RT dan larangan bertamu di atas pukul 21.00 juga turut dibatalkan. Kewajiban tamu lapor diatur di pasal 6 huruf k.
“(Kedua pasal) itu bertentngan dengan Pasal 28 ayat (1), Pasal 28G ayat (2), Pasal 28D UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan,” tutup Aher.
Editor : Dicky Zulkifly