Banyak Masalah Tak Selesai Saat Purwakarta Berkonsep Kota Tasbeh

Foto : Peringatan Maulid Nabi di Pendopo Purwakarta
PURWAKARTA, HeadlineJabar.com Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memperjelas konsep pembangunan berbasis kearifan lokal yang dibawanya selama menjabat dua kali periode.
Bupati Dedi menjelaskan ihwal konsep pembangunan Salapan Lengkah Ngawangun Nagri Raharja dan Sembilan Langkah Menuju Purwakarta Istimewa yang dibawanya saat menjabat di periode 2008-2013 dan 2013-2018.
Konsep Purwakarta Kota Tasbeh yang saat ini kembali digaungkan oleh kelompok masyarakat di Purwakarta tidak bisa digeneralisasi sebagai konsep tasbeh dalam makna suci. Akan tetapi, Purwakarta Tasbeh yang dibawakan bupati sebelumnya merupakan konsep yang dituangkan dalam sebuah singkatan.
“Tasbeh itu singkatan. Tasbeh bukan dalam artian kontekstual, tetapi hanya sebatas singkatan dari kepala daerah sebelumnya. Tasbeh diartikan sebagai tertib, aman, sehat, bersih, elok, hidup. Dan terbukti saat Purwakarta berkonsep Tasbeh banyak persoalan yang belum selesai,” ungkap Dedi dalam peringatan Maulid Nabi di Bale Paseban Pendopo Purwakarta, Senin (14/12/2015).
Pada saat Purwakarta Tasbeh, menurutnya prostitusi Cilodong beroperasi bebas. Hanya sama orang “kafir” Cilodong bisa tertib. Saat Purwakarta Tertib, RSUD jadi Bayu Antep, bukan Bayu Asih.
Tatar Sunda sudah mengajarkan nilai kebaikan. Di Sunda tidak menerima masyarakat lokal maupun pendatang yang berbuat kriminal. Semisal di Purwakarta, tidak menerima pemabuk dan dipersilahkan keluar Purwakarta. Dedi meyakini, daerah lain pun sama tidak akan menerima individu yang berbuat melanggar hukum.
“Di Sunda ditolak, karena tidak boleh mabuk, di Jawa pun sama karena tidak diterima. Akhirnya konsep ini menusantara. Di Purwakarta, sanksinya jika terjadi kasus kriminal, gaji RT setempat ditahan selama tiga bulan,” papar Dedi.
Termasuk Dedi mengklarifikasi soal ikat kepala yang dipakai dan dipermasalahkan. Dedi menilai, ikatnya bukan ikat hindu, tetapi ikat nusantara. Termasuk, ikat kepala yang dipakai oleh masyarakat Bali bukan ikat Hindu tetapi iket bali. Karena sepehaman Dedi, umat Hindu tidak pernah memakai ikat kepala.
“Ikat yang dipakai saya ini sebagai simbol monoteisme. Seperti halnya filosofis orang Sunda yang selalu menyembah tuhan yang tunggal. Simbol tersebut juga diperjelas dengan bentuk cetok, gunung dimana bawahnya luas semakin keatas semakin runcing. Ini simbol penyembahan tuhan. Saya tegaskan, yang merubah pikiran kita ini adalah kebudayaan dan konstitusi pancasila segala-galanya, sebagai alat kekuasaan yang saya miliki,” tegas Dedi.
Pernyataan Dedi dipertegas oleh Ketua Umum PB NU Said Aqil Siroj, dimana orang nomor satu di Ormas NU tersebut mengakui konsep Islam kebudayaan yang dibawa Dedi merupakan konsep Islam seutuhnya. Menurutnya, konsep yang saat ini belum selesai antara lain budaya.
“Tokoh Wali Songo membawa ajaran Islam tanpa kekerasan, melainkan melalui pendekatan budaya. Dan ini merupakan konsep Islam yang sebetulnya. Islam berbaur dengan budaya, dan Islam datang membawa rahmat keselamatan. Banyak produk-produk kebudayaan yang dipelihara oleh Islam. Islam itu menghilangkan api dan membiarkan menara yang saat ini banyak dipakai di masjid-masjid,” tutur Said.(ays)