Rara, Kembang Desa Terjebak di Kota Kembang

PURWAKARTAheadlinejabar.com

EK hanyalah seorang gadis yang baru kenyang mengenyam bangku sekolah menengah atas. Alih-alih ingin hidup mandiri, gadis ini memutuskan untuk mengundi nasib di kota.

Gadis pemilik rambut panjang ini tinggal di Desa Cibogo Girang RT 01 RW 01, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Kisah pilunya baru dimulai saat ia tergiur rupiah yang dijanjikan di Kota Bandung.

Iming-iming gaji sebesar Rp3 juta untuk membayar jasanya sebagai asisten rumah tangga tiap bulan, memincut hatinya untuk segera mengambil kesempatan emas ini.

Lantas EK beserta lima orang teman lainnya berhasil digiring oleh tetangga mereka, Aan (47), untuk mengikuti training selama dua minggu. Janjinya, mereka bakal segera dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga di ibu kota provinsi itu.

Namun sayang, janji hanyalah tinggal janji. Harapan tidak terbukti, malah jebakan yang menanti.

Si gadis lugu dan temannya malah dipekerjakan sebagai terapist di sebuah salon dan spa yang terletak di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Kota Bandung.

“Kadang tamunya itu ngajak keluar, minta ini itu, istilahnya plus-plus, tapi selalu saya tolak secara halus,” ungkap EK saat ditemui di Purwakarta, Rabu (29/3/2017).

Baca Juga  YLKI: Usut Tuntas Kasus Mie Mengandung Babi

Salon dan spa itu sendiri sudah dilauching pada 23 Januari 2017 lalu. Sementara EK dan lima orang lainnya diketahui mulai bekerja sejak 3 Januari 2017.

Gaji sebesar Rp3 juta pun tidak pernah diterima. Sistem penggajian yang berlaku di salon dan spa tersebut ternyata dihitung berdasarkan jumlah tamu yang menikmati jasa terapi pijat dan lulur yang dilakukan oleh masing-masing terapist.

“Januari itu cuma dapat Rp600 ribu, bulan Februari dapat Rp1,6 juta. Tapi saya hanya menerima Rp860 ribu saja,” lanjut EK.

Gajinya tidak direrima utuh karena dipotong untuk pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) di sana. Umur EK yang memang baru mengakhiri masa pubernya, ditulis lebih dewasa, menjadi 19 tahun.

“Dan beralamat di Kota Bandung. Ada potongan rutin juga untuk biaya mess dan tabungan sampai habis batas kontrak,” katanya.

Seluruh terapist yang bekerja di salon spa tersebut diketahui berganti nama. EK misalnya, berganti nama menjadi Rara. Lima orang teman EK, S berganti nama menjadi Bela, Y berganti nama menjadi Annisa, I berganti nama menjadi Lusi, I berganti nama menjadi Novi. Sementara W berganti nama menjadi Nova.

Baca Juga  Diduga Kuasai Sabu, RPE Diamankan Polres Purwakarta

Merasa tidak ada yang beres, ditambah kebetahan EK dalam bekerja kian meradang, ia kemudian menelepon ibunya, Eutik (46). Mendengar cerita EK, Eutik mengaku kaget dan khawatir akan pekerjaan yang tengah dijalani oleh anaknya tersebut.

Terlebih jam kerja yang ia nilai tidak wajar yakni dari Jam 11.00 WIB siang sampai Jam 1.00 WIB dini hari. Hanya untuk melayani jasa pijat dan lulur para pelanggan di salon dan spa tersebut.

Tak ingin keresahan anaknya berlarut-larut, Eutik kemudian mendesak Aan untuk segera memulangkan EK ke kampung halaman. Karena terikat perjanjian dalam kontrak, Aan terpaksa berbohong kepada pihak salon dan spa bahwa orang tua EK sedang sakit keras dan harus dijenguk sesegera mungkin.

“Diberikan izinnya tiga hari sampai hari Kamis besok, tapi kalau sudah ada di rumah begini saya tidak akan mengizinkan anak saya kembali ke tempat itu. Karena pekerjaannya bertentangan dengan nilai agama,” jelas Eutik.

Kekhawatiran lain menyelimuti Eutik dan keluarganya. Pasalnya, dalam salah satu klausul perjanjian kontrak kerja disebutkan bahwa EK harus membayar ganti rugi sebesar Rp20 juta, jika tidak menyelesaikan kontrak kerja yang sebelumnya sudah ditandatangani olehnya saat mulai bekerja.

Baca Juga  Lapas Kelas II B Purwakarta Musnahkan Barang Bukti Hasil Penggeledahan

Pertolongan Kang Dedi Mulyadi

Advokasi terhadap EK pun datang dari Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Kang Dedi, sapaan karibnya, sudah mendengar kronologis kejadian dari pihak keluarga. Kang Dedi akan membayarkan uang sebesar Rp20 juta kepada pihak salon dan spa sesuai dengan perjanjian kontrak kerja.

Akan tetapi, langkah pria yang selalu mengenakan ikat Sunda tersebut tidak akan berhenti sampai di situ. Ia akan mempelajari klausul per klausul dalam kontrak kerja dimaksud.

Terlebih menurut dia, EK belum genap berusia 17 tahun dan seharusnya belum berhak menandatangani sebuah perjanjian kerja.

“Harusnya wali atau kuasanya yang menandatangani itu karena dia kan belum genap 17 tahun. Tadi juga sempat dia sampaikan sudah mendapatkan KTP di sana, saya lihat masih KTP konvensional. Untuk mengawal kasus ini , saya akan bertindak sebagai kuasa EK” kata Kang Dedi.

Lebih jauh, EK akan didampingi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk melaporkan Aan, wanita yang sebelumnya mengimingi pekerjaan tersebut kepada Polda Jawa Barat.

EDITOR : DICKY ZULKIFLY