Kepala Desa (Kades) Sukatani, Kecamatan Sukatani Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Asep Supena mengklaim diri tak bersalah seputar kasus penebangan pohon Jati di wilayahnya. Kades Asep mengakui selama ini lahan yang ditanami pohon Jati di wilayahnya berstatus tanah sampalan yang garapannya sudah dikelola oleh pihak ketiga.
Kades Asep menjabarkan kronologis mula sebelum adanya aktivitas penebangan pohon Jati di lahan seluas 18 hektare di RT14 RW 04 Desa Sukatani Purwakarta. Menurutnya, Pemerintah Desa (Pemdes) Sukatani hanya mengeluarkan rekomendasi izin peremajaan lahan, bukan izin penebangan. Namun Kades Asep tak bisa menampik, di lapangan yang terjadi bukan peremajaan lahan akan tetapi aktivitas penebangan.
“Desa tidak mengeluarkan rekomendasi izin tebang, melainkan rekomendasi peremajaan. Makanya kami lakukan penyetopan. Sejauh ini pohon yang sudah ditebang ada (diamankan, red) di Polsek Sukatani,” jelas Kades Asep saat dijumpai headlinejabar.com di ruang kerjanya, Senin (28/3/2016).
Meski di wilayah mekanisme pihak desa tak bisa melakukan penyetopan secara langsung, kendati status garapan tanah yang sudah dikuasai pihak lain. Hanya saja, desa melakukan penyetopan atas kegaduhan dan laporan warga.
“Kami tidak bisa menyetop penanaman maupun penembangan, karena itu sudah menjadi hak milik (garapan) orang lain,” jelas Asep.
Kades Asep memaparkan, saat ini hak garapan tanah itu dikelola oleh salah satu organisasi masyarakat (Ormas) di Purwakarta. Salah satunya Ormas Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu (PDIB).
“Jika saya hentikan, nanti PDIB yang marah. Bagaimana nanti kalau saya kalah oleh PDIB? kalau saya lakukan penyetopan?,” terang Asep, balik bertanya.
Asep menegaskan, garapan tanah itu bukan lagi dikuasai pihak desa. Melainkan sudah beralih. Makanya, ia berani membela dili tak bisa disalahkan dalam kasus tersebut.
“Saya tegaskan, garapan desa sudah dijual. Desa tidak punya hak garap, sudah dijual. Pada kenyataannya, saya harus melarang, padahal bukan tanah saya. Dasarnya apa saya melakukan penyetopan. Karena hak garap sudah dimiliki oleh PDIB,” terang Kades Asep, sembari berapi-api.
Pihaknya tidak bisa menutup. Berdasarkan perjanjian di Polda soal tanah itu, statusnya sampalan. Bisa digarap, disewakan, hanya tak bisa diperjualbelikan.
“Sudah berapa miliar PDIB ngeluarin uang, apakah itu bisa dikembalikan, kan tidak. Taroh lah dari 18 hektare PDIB sebelumnya ngeluarin uang Rp260 juta, apakah saat ini jika harus saya bayar uang sebesar itu bisa mengembalikan status garapan, kan tidak. Taroh harga tanah Rp20.000 permeter, kali 18 hektare, berapa? PDIB itu sudah ngeluarin uang miliaran rupiah untuk tanah itu,” beber Asep.
Dalam perjanjian, kata Asep, tanah tersebut hak garapannya dimiliki PDIB. Tapi, hasil musyawarah perjanjian (pernyataan) antara penggarap dan PDIB terjadi cacat hukum karena tidak ada persetujuan Bamusdes dan camat. Secara kronologi, Asep melihat tanah tersebut garapannya masih dikuasai oleh PDIB.
“Bukan berarti kami pro terhadap PDIB maupun Sandy (salah satu pengusaha), tapi kami tidak mau diadu domba. Ngapain. Enakan PDIB. Kenapa PDIB diam, karena dia takut. Karena perjanjian dulu statusnya cacat hukum, tidak ada persetujuan Bamusdes dan camat,” terang dia.
Namun, pada dasarnya status tanah merupakan hak warga masyarakat setempat. Namun semenjak ada perjanjian penggarap, statusnya beralih. “Tanah bukan hak penggarap, yang berhak tanah itu warga Sukatani. Disewakan boleh, yang tidak boleh itu diperjualbelikan,” tutup dia.(jem/dzi)