Apa Kabar PNPM Simpan Pinjam Kelompok Perempuan di Purwakarta?

SALAH satu model simpan pinjam kelompok perempuan yang terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, resmi berakhir pada tahun 2014. 

Meski programnya berakhir, perputaran dana puluhan miliar mengendap di tiap-tiap kabupaten. Anggaran itu tersebar di masing unit pengelola kegiatan (UPK) PNPM Simpan Pinjam Kelompok Perempuan. Tiap kecapatan, seluruh kabupaten, se-Indonesia.

Apa kabar PNPM Simpan Pinjam Kelompok Perempuan di Purwakarta?

DICKY ZULKIFLY Purwakarta

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Purwakarta, secara kelembagaan masih kebingungan. Menyangkut legal standing praktik lembaga simpan pinjam yang kini menamai diri sebagai perkumpulan berbadan hukum (PBH).

PBH ini di Purwakarta, tiap-tiap UPK di kecamatan menamai diri sebagai lembaga Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat (DAPM).

Menyangkut penjelasan, Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi Desa (PED) pada DPMD Purwakarta, Asep Suparman mengatakan, saat ini masalah regulasi dari pemerintah pusat yang menjadi sorotan khusus.

“Masalahnya regulasi di pusat masih dogodog. Dari dulu masih digodog, sampai sekarang masih digodog. Belum tuntas. Belum selesai,” kata Asep, Selasa (23/10/2018) pagi lalu.

Sebetulnya kata Asep, posisi DPMD menyoal PNMP Simpan Pinjam Kelompok Perempuan tak bisa mengintervensi secara mendalam. Sebab, pascaperalihan leading sektor program dari Kementerian Dalam Negeri menjadi kepada Kementerian Desa dan PDTT, semuanya masih bias.

Baca Juga  Kantor Desa Tajursindang Purwakarta Lebih Mirip Hotel Berbintang

“Bias karena belum adanya aturan yang mendasari. Sah atau tidaknya praktik simpan pinjam seperti ini,” ucap dia.

Namun, semua dianggap sah setelah pembahasan panjang. Tiap-tiap UPK beralih menjadi PBH yang berdasar pada masing-masing AD/ART atau beraktanoris.

“Sekarang yang bertanggung jawab bukan lembaga dinas. Melainkan tiap-tiap camat bertindak sebagai pembina PNPM Simpan Pinjam Kelompok Perempuan,” ujar Asep.

Dinas pun gagap manakala ditanya ihwal maraknya dugaan perkeliruan dana amanat di masing-masing UPK. Sebab tiadanya pengawasan, dugaan para pihak yang bertindak sebagai pengurus UPK membuat data fiktif peminjam. Sampai menggelapkan dana amanat.

“Kalau misalkan ada permasalahan di UPK silakan perbincangkan dengan camat,” terang kabid.

Peralihan UPK kepada menjadi PBH juga masih rancu. Tapi kerancuan itu, kini seolah rontok karena tidak adanya pihak yang mengawasi. Atau paling tidak, kepada siapa UPK ini bertanggung jawab.

“Dulunya ada edaran Kemenkokesra namun belum ditindaklanjuti oleh gubernur. Terkait peralihan UPK menjadi koperasi, PT atau PBH. Mau bagaimana,” jawab Asep.

Buka-bukaan, praktik UPK PNPM Simpan Pinjam Kelompok Perempuan ini abai dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sekaliber lembaga perbankan baik swasta maupun plat merah wajib diawasi oleh lembaga pengawas jasa keuangan yang satu ini.

Baca Juga  Usia Renta, Mak Okoy Pilih Jadi Pemulung

Ketentuan ini sudah diatur lengkap dalam Undang-Undang (UU) No21 tahun 2011 tentang OJK.

Bukan saja hanya tak diawasi pihak OJK, UPK rupanya luput dari pengawasan lembaga perpajakan. Bagaimana laporan perpajakan dibuat, sampai berapa besar setoran pajak pinjaman dari nasabah yang disetor pada negara. Satu lagi, dana yang mengendap dan berputar baik di UPK maupun nasabah juga tak terprotek lembaga perpajakan.

Jika memang UPK tak termasuk lembaga yang mesti diawasi, dari mana dasarnya.

Ketua UPK DAPM Jembar Kabisa Babakancikao, Purwakarta, Arief Rani Munigar menjawab, sejak 2009, lembaga simpan pinjamnya menerima guliran dana sebesar Rp1,4 miliar. Di 2018 kini, dana tersebut sudah berkembang jadi Rp2,1 miliar.

Membesar karena ada penambahan aset berupa gedung dan tanah. Lalu, khusus simpan pinjam, diakuinya tak harus mengurus dan bayar pajak.

Dari duit sebanyak itu, DAPM menerima jasa sekitar Rp24 sampai Rp25 juta per bulan. “Di luar dana yang digolangkan pada nasabah, kami memiliki dana yang mengendap sebesar Rp220 juta,” kata Arief.

Di Kecamatan Babakancikao, DAPM pernah membentuk sampai dengan 140 kelompok simpan pinjam perempuan (SPP). Yang aktif kini hanya sekitar 80 kelompok. Lalu kemana perginya kelompok yang tidak aktif tersebut.

Baca Juga  Bermodal Rp300 Ribu, Janda Lansia di Subang Hidupi Tiga Anak dengan Jualan Kerupuk

“Yang tidak aktif, kategori tidak meminjam. Sudah tidak bertransaksi lagi pinjam meminjam dengan DAPM,” papar Arief.

Lalu bagaimana cara warga masyarakat calon nasabah DAPM yang ingin meminjam duit di lembaga yang mirip-mirip transaksi di firma bebas pajak dan pengawasan ini.

“Perorangan cukup dengan BPKB motor, mobil atau sertifikat rumah. Proses pencairan tergantung paling lama satu bulan dari mulai pengajuan verifikasi dan persetujuan. Bagi pemohon pertama, kami memberikan pinjaman Rp1 juta dengan beban bunga 1,8 persen,” kata Arief.

Lama prosesnya, dan mini hasil pinjamannya. Arief melanjut. Setelah nasabah berhasil meminjam, selanjutnya bisa meminjam dengan pengajuan Rp2 sampai Rp3 juta.

“Tentunya berdasarkan kemampuan membayar. Tergantung pada verifikasi,” papar dia.

Dan ternyata tidak mudah bagi warga nasabah perorangan yang hendak meminjam. Ketentuan dari DAPM, warga peminjam merupakan mantan kelompok SPP. Artinya, di luar kelompok SPP sulit prosesnya, bahkan bisa jadi mentok.

“Ya memang harus kelompok. Adapun perorangan, harus mantan kelompok. Kami memprioritaskan pinjaman bagi kelompok. Kelompok SPP,” tutup dia.(*)