Soal Politik Dua Kaki, Dedi Mulyadi Sebut Antara Penderita Hernia, Pengantin Sunat dan Pelanggan Ojeg

Foto: Soal Politik Dua Kaki, Dedi Mulyadi Sebut Antara Penderita Hernia, Pengantin Sunat dan Pelanggan Ojeg

PURWAKARTA, headlinejabar.com

Fenomena politik dua kaki yang dijalankan Partai Demokrat mengundang perhatian banyak pihak. Selain para pengamat, Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi pun turut memberikan tanggapan terkait fenomena tersebut.

Meskipun sudah dibantah oleh Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, namun faktanya konstelasi Demokrat terpecah.

Hal ini dibuktikan dengan deklarasi kepala daerah yang berasal dari partai berlambang bintang mercy itu untuk mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Padahal, secara resmi Partai Demokrat termasuk pengusung pasangan Prabowo-Sandi.

Menurut Dedi, fenomena tersebut tidak perlu ditanggapi serius. Apalagi orang Jawa Barat memiliki rasa humor yang tinggi untuk menjelaskan situasi yang tengah mendera Partai Demokrat.

Politik dua kaki, kata dia, diistilahkan orang Jawa Barat dengan sebutan ‘Ngajegang’. Secara teknis, dia memisalkan posisi kaki seseorang yang sedang ‘ngajegang’. Kaki kiri ditarik ke arah kiri, begitupun kaki kanan ditarik ke arah kanan.

Baca Juga  Soal Pilgub DKI, PDIP Masih Menaruh Rasa Terhadap Ridwan Kamil‎

“Akibat posisi kaki yang seperti itu, orang yang ‘ngajegang’ memiliki keterbatasan pergerakan. Dia sulit berlari ke tujuan,” kata Dedi di kediamannya. Tepatnya, di Desa Sawah Kulon, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, Jum’at (14/9/2018).

Dedi menjelaskan selera humor orang Jawa Barat soal posisi ‘ngajegang’. Posisi tersebut terpaksa harus dialami oleh penderita ‘burut’ (hernia). Beban berat di bagian tengah selangkangannya harus ditanggung oleh mereka. Akibatnya, penderita hernia mengalami kesulitan saat berjalan.

“Artinya, para pemain politik dua kaki itu patut diberikan empati. Untuk berjalan saja mereka butuh bantuan. Ada beban berat luar biasa di bagian tengah tubuhnya,” katanya.

Rasa sakit dan ngilu pun menjangkiti para pengantin sunat. Karena itu, usai disunat mereka biasanya mengenakan kain sarung yang sudah dipasang sabut kelapa di bagian tengahnya. Setali tiga uang dengan penderita hernia, pengantin sunat pun berjalan ‘ngajegang’.

Baca Juga  Dedi Mulyadi Tanggapi Tingginya Popularitas Aa Gym

“Anak sunat usia 5 sampai 7 tahun kan biasanya begitu juga ya. Tradisi orang Jawa Barat mah kan pengantin sunat pasti pakai sarung yang ada sabut kelapanya. Mereka berjalan sangat hati-hati karena ngilu pasti, kalau sampai tergores bahkan bisa sakit,” ujarnya.

Pelanggan ojeg tak luput dari guyonan keseharian Orang Jawa Barat yang memang berkarakter humoris. Ojeg menurut Orang Jawa Barat merupakan akronim dari ‘Ongkos Ngajegang’. Artinya, pengguna jasa ojeg memberikan upah atas jasa yang sudah dilakukan oleh tukang ojeg.

“Mereka itu menumpang, karena itu sama sekali tidak merasa memiliki atas ojeg yang ditumpangi. Bagi pelanggan, yang penting mah sampai tujuan,” tutur Dedi.

Publik Miliki Logika Sendiri

Pria yang digadang menjadi Ketua Timses Jokowi-Ma’ruf di Jawa Barat itu pun mempersilakan publik untuk memberikan penilaian. Menurut dia, publik pasti memiliki logika sendiri dalam memahami setiap fenomena yang muncul. Terlebih, generasi millenial sangat akrab dengan proses pertukaran informasi yang serba cepat.

Baca Juga  ZeinJo Dapat Dukungan dari Kelompok Single Parents, Abang Ijo: Mereka Pejuang Ekonomi Keluarga

“Kalau saya pribadi gak elok untuk memberikan referensi penilaian kepada publik. Toh, publik sudah pasti memiliki logikanya sendiri. Jadi, mereka mengetahui mana pendidikan politik dan mana sikap yang kurang terpuji. Mereka lebih paham, ada gadget ayeuna mah,” katanya.

Atas hal tersebut, dia mengimbau semua pihak yang terlibat dalam Pilpres 2019 untuk memberikan kerja terbaik bagi bangsa Indonesia. Sikap terpuji, ksatria dan negarawan sangat perlu ditunjukan dalam rangka memberikan nilai moral pada setiap momen.

Karena itu, langkah-langkah strategis dalam menciptakan kehidupan kebangsaan yang lebih baik perlu ditonjolkan. Semua pihak, kata dia, harus menghindari situasi vis a vis yang bisa memperuncing perbedaan.

“Satu lagi, anak bangsa Indonesia tidak boleh ada yang menderita penyakit hernia. Itu penyakit zaman old, bukan penyakit zaman now,” ujarnya berseloroh. (rls/eka)