AIRC Miliki Kontruksi Vaksin Untuk Atasi Virus Zika

Foto : Nyamuk Zika Sumber, istimewa.

JAKARTAheadlinejabar.com

Chairul Anwar Nidom dari Pusat Penelitian Flu Burung Universitas Airlangga (AIRC) mengatakan, pihaknya telah memiliki konstruksi vaksin atau mock-up yang dapat digunakan untuk mengatasi virus Zika.

Dia yakin bahwa dalam waktu enam bulan -dengan kerja sama dari industri vaksin dan pemerintah Indonesia- maka peneliti dari AIRC dapat menyempurnakan vaksin Zika yang siap diaplikasikan ke manusia.

“Kami siap menerima tawaran mereka,” tegasnya.

Namun Kementerian Kesehatan Indonesia mengatakan saat ini pembuatan vaksin Zika bukan prioritas.

Virus Zika dikaitkan dengan fenomena mikrosefalus pada bayi yang baru lahir di Brazil, dan juga dideteksi di Indonesia meski hanya menyebabkan gejala klinis ringan.

Sebelumnya, kelompok ilmuwan di Amerika Serikat menyatakan butuh minimal dua tahun untuk mengembangkan vaksin virus Zika, dan 10-12 tahun lagi sampai disetujui regulator untuk digunakan masyarakat.

Namun Nidom menyatakan para peneliti di AIRC dapat melakukannya dengan lebih cepat melalui sejumlah teknologi, termasuk teknologi reverse genetics yaitu mengubah virus di alam dengan mutasi gen menjadi virus yang dikehendaki. Teknik ini, kata Nidom, telah biasa digunakan kepada virus influenza dan beberapa virus lain.

Baca Juga  Kantor Pemerintahan di Purwakarta Didesinfeksi Tiga Hari Sekali

Teknologi lainnya ialah knock-out flu virus, yaitu mengambil fragmen DNA dari virus influenza lalu menggantinya dengan fragmen dari virus target vaksin. “Seperti memodifikasi bagian tertentu dari mobil,” jelas Nidom.

Dengan kedua metode tersebut, peneliti di AIRC tidak membutuhkan virus utuh sebagaimana peneliti AS.

“Mereka baru yakin akan sebuah vaksin itu kalau menggunakan virus hidup, dan itu tergantung bagaimana mereka mengelola dan mengerjakannya di tingkat laboratoriumnya,” tutur Nidom.

Ia menambahkan, para peneliti di negara lain mungkin tidak menguasai atau tidak memegang paten terhadap teknologi yang ia jelaskan. “Jadi mereka harus mengurus paten dan sebagainya kan.” tambahnya.

Baca Juga  Jelang Ramadhan, Pemkab Anitisipasi Penyebaran Covid-19

Selain itu dari aspek regulasi, menurut Nidom, untuk kasus Zika tidak diperlukan regulasi yang ketat sebagaimana virus biasa. Hal itu karena virus Zika tergolong Kejadian Luar Biasa (KLB)

“Kalau dalam kondisi biasa, untuk mengendalikan penyebaran penyakit, tidak kurang dari waktu 4-5 tahun, karena proses pengujian dan regulasi nasional maupun internasional sangat ketat.

“Tetapi ada proses lain yaitu proses pembuatan vaksin dalam keadaan KLB. Ada regulasi yang bisa dilewati mengingat bahayanya terhadap nyawa manusia.”

Nidom mengatakan perlu kerja sama antara lembaga riset, industri vaksin, dan pemerintah untuk mewujudkan vaksin ini.

Ia membagi enam bulan ke dalam tiga fase. Pertama, fase konstruksi vaksin selama dua bulan. Kemudian dua bulan berikutnya dalam fase formulasi dan delivery, yang dilakukan oleh industri vaksin.

“Saat kami mengerjakan fase konstruksi industri bisa mulai merancang formulasi dan nanti kira-kira delivery-nya apa, apakah lewat tetes mata atau suntik dan sebagainya.”

Baca Juga  Perdana, RSUD Bayu Asih Purwakarta Luncurkan Layanan Operasi Katarak Tanpa Sayatan

Dua bulan terakhir, yaitu fase uji pre-klinis. Dalam fase ini pusat riset dan industri melakukan berbagai uji coba, termasuk uji terhadap hewan. Sementara itu, pemerintah menyiapkan transportasi vaksin tersebut, untuk disampaikan ke masyarakat.

Meski demikian, juru bicara kementerian kesehatan mengatakan, pada saat ini pemerintah belum fokus kepada pembuatan vaksin virus Zika.

“Di kementerian maupun di Litbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) belum ada konsep dasar untuk pembuatan vaksin Zika,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Oscar Primadi.

Oscar mengatakan, pemerintah lebih fokus dalam menangani penyakit demam berdarah; sementara upaya penanganan Zika lebih berfokus pada pencegahan.

“Karena memang vektornya sama (dengan demam berdarah, yaitu nyamuk Aedes Aegepty), persoalan awalnya sama pencegahan itu yang kita lakukan. Tapi soal vaksin, saya pahami di kementerian belum ada kebijakan untuk melangkah sejauh itu,” ujarnya. (bbc/red)