Skema Bansos Keliru, Sebabkan Harga Komoditas Anjlok

Anggota DPRD Jawa Barat Dapil Kabupaten Bandung Barat Fraksi Partai Golkar Edi Rusyandi

BANDUNG, headlinejabar.com

Harga komoditas pertanian di tengah masa adaptasi kebiasaan baru (AKB) di sejumlah daerah di Jawa Barat anjlok.

Kondisi ini terpantau di sejumlah pasar induk dan juga keluhan para petani yang dipastikan mengakibatkan kerugian besar bagi mereka.

Di antara harga komoditas pertanian tersebut:

1. Burkol Rp6.000 jadi Rp1.000, 

2. ketimun Rp5.000 jadi Rp1.000, 

3. Jamur Rp12.000 hanya Rp5000

4. Acar Rp2500-Rp5000 jadi Rp500

5. Brukoli dari Rp9.000-Rp15.000 hanya Rp2500 

6. Lejet asalnya Rp600-Rp1000 hanya Rp200/biji

7. Paprika merah Rp35.000-Rp50.000 jadi Rp25.0000/kg

8. Paprika kuning Rp40000-Rp50000, hanya Rp25000/kg 

9. Paprika hijau Rp30.000-Rp40.000 hanya Rp20000/kg

10. Tomat biasanya Rp5000-Rp7000 hanya Rp1500/ kg 

bahkan kangkung ada yang tidak terjual oleh petani. Menyikapi hal tersebut, Anggota DPRD Jawa Barat Dapil Kabupaten Bandung Barat Fraksi Partai Golkar Edi Rusyandi menilai, Pemprov Jabar harus turut terlibat memberikan solusi atas permasalahan anjloknya harga komoditas pertanian ini.

“Kita melihat selama masa pandemi ini, belum tampak hadirnya Pemprov Jabar terhadap nasib para petani (nir keberpihakan). Padahal sektor pertanian dibilang cukup tangguh menghadapi pandemi ini dan berkontribusi menjaga pertumbuhan ekonomi, ditengah lumpuhnya sektor yang lain,” kata Edi dalam keterangan tertulis, Rabu (12/8/2020).

Sektor pertanian hanya terkoreksi 0,9 persen. Berbeda jauh dengan sektor jasa dan manufaktur yang mengalami persentase penurunan pertumbuhan hingga 7,2 persen menjadi 2,4 persen. 

“Kondisi anjloknya harga pertanian ini menurut saya salah satunya disumbang kelirunya skema bansos berupa sembako yang merusak pasar petani,” kata Wakil Ketua PW Ansor Jawa Barat ini.

Lain halnya jika dengan skema tunai, daya beli masyarakat akan relatif terjaga. Belum lagi ditambah dengan adanya PSBB. Sehingga ini menjadi efek domino.

“Ini dampaknya cukup serius dirasakan oleh petani dan buruh tani,” ujar Edi.

Dalam hal ini, Edi mengharapkan adanya program yang fokus untuk sektor pertanian dan memperhatikan nasib para petani dari Pemprov Jabar.

Ada rumusan yang jelas kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan dimasa AKB dan pasca pandemi ke depan.

“Ini juga bagian dari proses recovery ekonomi. Karena jika tidak diantisipasi, akan beresiko terhadap kondisi pangan di Jawa Barat. Jika hari ini petani merugi, dan mereka menunda masa tanam jelas akan menimbulkan kelangkaan pangan, nanti bagaimana?,” katanya.

Apalagi hari ini akan menghadapi musim kemarau, tentu para petani ini butuh biaya lebih. Jika masa tanam ditunda, bisa rumit dan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan krisis pangan. Karena itu perlu langkah waspada. 

“Langkah kongkritnya harus ada kebijakan stimulus dan perbantuan sesegera mungkin yang ditujukan pada sektor pertanian untuk membantu para petani,” ujar dia.

Salah satunya bisa dari sumber dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) pinjaman dari pemerintah pusat untuk Pemprov Jabar.

Sumber pinjaman ini diharapkan menjangkau para petani yang dalam kondisi terpuruk. Bantuanya diperluas bukan hanya pada sarana tapi juga pada jaminan harga pembelian yang menguntungkan para petani apalagi ditengah situasi anjlok saat ini.

Pemprov juga diharapkan memperkuat kelembagaan koperasi petani dengan membeli produk petani dengan harga yang ditetapkan yang menguntungkan petani untuk disalurkan di lembaga lembaga pemerintah,” demikian Edi.(dik)

Baca Juga  Gagal Laksanakan Paripurna, 23 Anggota DPRD Purwakarta Minta Maaf